Sabtu, 31 Oktober 2009

Bisnis Indonesia ( 09 Nov 2008 11:47 ) Lion Air Bangun Basis Penerbangan di Malaysia

JAKARTA - Lion Air segera membuka basis (hub) penerbangan di Langkawi, Kedah, Malaysia. Maskapai penerbangan nasional itu akan membentuk maskapai bernama Lion Langkawi berkerja sama dengan mitra lokal.Lion Air berencana menggunakan pesawat terbaru Boeing 737-900ER untuk dioperasikan di negeri jiran itu, baik untuk penerbangan domestik maupun internasional.

Bila rencana ini dapat terlaksana, harapan kami dapat segera terwujud pada pertengahan tahun ini,” kata Rusdi Kirana, pekan lalu.Bila rencana ini terealisasi, lanjutnya, berarti pesawat jarak menengah generasi baru tersebut akan menjadi pesawat pertama yang dioperasikan di Malaysia.

Menurut Rusdi, Lion Air akan mengalokasikan setidaknya enam pesawat baru itu untuk tahap pertama.Maskapai swasta nasional itu sudah memesan sedikitnya 122 unit pesawat Boeing 737-900ER. Dari jumlah itu, tujuh unit sudah tiba pada 2007 dan pada tahun ini direncanakan datang lagi 12 unit. Lion Air akan menambah lagi pesanan pesawat itu saat Singapore Air Show yang digelar pada 19-24 Februari 2008.”Kami tidak akan membawa pesawat bekas ke Malaysia, tapi semua pesawat tersebut akan langsung didatangkan dari pabrik Boeing di Seattle, Amerika Serikat,”jelasnya.

Akhir bulan lalu, Rusdi berkunjung ke Kedah, salah satu negara bagian Malaysia yang terkenal dengan salah satu wilayah pariwisata terbesar yaitu Langkawi, sehubungan dengan rencana Lion Air membangun perusahaan penerbangan di Malaysia. Rusdi diundang oleh Menteri Besar Kedah, Dato’ Seri Mahdzir bin Khalid, yang menyambut positif rencana tersebut, apalagi bertepatan dengan perhelatan kepariwisataan yang sedang tumbuh pesat diwilayah yang terkenal dengan pariwisata pantai dan kulinernya tersebut.”Lion Air dengan mitra lokalnya nanti diharapkan menjadi ikon bagi wilayah ini yang memiliki potensi pasar menjanjikan,” kata Dato’ Seri Mahdzir.(hery lazuardi)

Kamis, 29 Oktober 2009

wing in ground effect


Wajah transportasi udara Indonesia sedang suram saat ini akibat beberapa kecelakaan transportasi yang terjadi beruntun di dalam negeri. Seolah musibah ini datang silih berganti, baik itu transportasi udara, darat, maupun laut. Korban jiwa yang jatuh dalam satu tahun terakhir ini pun tidak bisa dianggap sedikit.

Kebutuhan akan transportasi yang aman dan nyaman merupakan hal penting yang harus diperhatikan pemerintah. Indonesia adalah negara kepulauan yang tentu saja memiliki kebutuhan alat transportasi antar pulau yang tinggi. Saat ini kegiatan mobilitas penduduk antar pulau dilayani dengan kapal laut dan pesawat udara. Selain kedua alat transportasi ini apakah ada alternatif lain?

Dari segi waktu tempuh, jelas pesawat udara jauh lebih unggul dari kapal laut. Namun, untuk jarak dekat misalnya untuk penyebrangan antar pulau, kapal laut lah pilihan yang tepat. Mungkinkah kita menggabungkan keduanya, menciptakan kapal laut yang bersayap dan dapat terbang? Jawabnya adalah sangat mungkin.

Kapal bersayap adalah pesawat terbang yang sengaja dirancang untuk terbang rendah. Tujuannya adalah untuk mendapatkan efek permukaan (ground effect) yang berguna menambah gaya angkat. Kendaran jenis ini dikenal dengan nama Wing in Ground/Surface Effect (WiGE atau WiSE). Dibandingkan dengan kapal laut, WiSE memiliki keunggulan yaitu meniadakan gaya hambat dari air laut karena telah berada beberapa centi diatas permukaan laut dan pada akhirnya tentu saja kecepatan yang didapat lebih tinggi, waktu tempuh singkat, dan efisiensi bahan bakar yang lebih baik.

Prinsipnya, WiSE manfaatkan efek pemampatan udara permukaan yang terjadi pada objek benda yang terbang rendah. Efek tambahan gaya angkat ini dipertahankan dengan memilih kecepatan terbang yang sesuai dan bentuk aerodinamik yang sesuai pula.

Gaya angkat pada sayap terbangkit akibat adanya perbedaan tekanan dipermukaan atas dan permukaan bawah sayap akibat gerak relatif udara terhadap sayap. Namun, konsekuensi dari perbedaan tekanan ini adalah terjadinya ‘kebocoran’ tekanan di ujung tepi sayap (wing tip) dan terjadi kerugian gaya angkat. Saat terbang rendah, downwash yang tercipta di tepi sayap ini ‘terhalang’ oleh permukaan, sehingga didapatllah tambahan gaya angkat.


WiSE craft memang belum dikenal di Indonesia. Namum bukan berarti janis kendaraan ini belum pernah ada didunia. Beberapa konsep WiSE craft yang telah ada antara lain KM Ekranoplan dan Lun Ekranoplan buatan Uni Soviet dan Pelikan yang dibuat oleh Boeing. Sudah seharusnya lah WiSE menjadi pilihan alternatif untuk Indonesia mengingat profil geografis Indonesia yang sangat cocok untuk WiSE.

Saat ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tengah mengembangkan dan merancang prototipe kapal bersayap ini. Dalam pengerjaanya, BPPT bekerjasama dengan institusi pendidikan seperti ITB dan ITS. WiSE craft-8, yang saat ini sedang dikerjakan, menggunakan material komposit dengan tenaga penggerak single propeler. Kapal bersayap ini memiliki kapasitas 8 penumpang dan mampu terbang rendah dengan kecepatan 80 -120 knots, atau tiga kali lebih cepat dari kapal laut biasa.

Harapan kedepan semoga saja alat transportasi WiSE dapat dikembangkan oleh industri nasional untuk memenuhi kebutuhan transportasi laut nasional. Kabarnya, prototipe WiSE craft 8 BPPT-ITB saat ini sedang dibuat di daerah Serang, Banten. Kita tunggu saja.

Minggu, 25 Oktober 2009

Industri Penerbangan dan Keselamatan Penumpang

Industri Penerbangan dan Keselamatan Penumpang
Beberapa tahun belakangan, industri penerbangan nasional berkembang dengan cukup pesat. Harga tiket penerbangan untuk berbagai rute domestik secara rata-rata turun hingga 35 persen dari harga sebelum deregulasi. Frekuensi penerbangan pun meningkat sangat pesat dan mampu membawa penumpang hingga lebih dari 25 juta orang per tahun.

Namun, perkembangan tersebut juga membawa beberapa persoalan lain. Beberapa kecelakaan pesawat yang terjadi dalam setahun terakhir ini, misalnya, membuat banyak pihak bertanya: apa yang salah dengan penerbangan kita? Apakah masalah keselamatan sudah dikorbankan untuk mengejar biaya murah?

Tulisan ini mencoba memberikan pandangan lain mengenai keselamatan dalam industri penerbangan kita saat ini.

Keselamatan dikorbankan?

Masalah keselamatan merupakan faktor utama setiap penerbangan. Keselamatan ini bergantung pada berbagai faktor, baik kondisi pesawat, kondisi awak pesawat, infrastruktur, maupun faktor alam. Yang sering mendapatkan sorotan adalah faktor kondisi pesawat. Ada pendapat dari sebagian kalangan, kondisi pesawat dari berbagai penerbangan domestik tidak terjaga dengan baik. Ini dilakukan untuk menekan biaya operasional, terutama dalam menghadapi persaingan yang ketat.

Pendapat tersebut mungkin ada benarnya. Namun, penurunan biaya operasional tidak selalu berarti menurunkan tingkat keselamatan. Bahkan peningkatan keselamatan dapat dilakukan bersamaan dengan penurunan biaya operasional.

Kondisi pesawat bergantung pada perawatan yang dilakukan. Sementara itu, perawatan yang diperlukan bergantung pada umur sebuah pesawat. Secara teoretis, umur suatu pesawat akan kembali menjadi nol setelah menjalani perawatan besar. Semakin tua suatu pesawat, biaya perawatan yang perlu dikeluarkan menjadi lebih tinggi pula. Selain itu, pesawat yang lebih tua memerlukan pemeriksaan yang lebih teliti. Studi dari Hansson (2004) memperlihatkan bahwa penggunaan pesawat dengan umur kurang dari 5 tahun dapat menurunkan biaya perawatan hingga 60 persen dari pesawat berumur lebih dari 20 tahun.

Biaya perawatan pesawat merupakan salah satu pos biaya yang cukup besar dalam operasional penerbangan, mencapai 12-20 persen. Dengan penghematan biaya perawatan tersebut, biaya operasional juga akan turun secara cukup signifikan. Penggunaan pesawat yang lebih muda juga meningkatkan keselamatan penerbangan karena kondisinya relatif lebih baik.

Sayang, kebanyakan pesawat yang saat ini digunakan oleh maskapai penerbangan domestik adalah pesawat yang sudah cukup berumur, bahkan banyak yang sudah beroperasi lebih dari 20 tahun. Soalnya, hampir semua maskapai tidak memiliki armada sendiri, tapi menyewa pesawat dari perusahaan lain yang biasanya sudah tua.

Dengan menggunakan pesawat sewaan, maskapai penerbangan tidak perlu mengeluarkan biaya modal yang besar pada tahap awal operasi. Meskipun biaya modal dapat ditekan, sebenarnya strategi ini menyebabkan biaya operasional membengkak. Selain biaya perawatan, biaya pemakaian bahan bakar akan meningkat dan menjadi sangat terasa pada kondisi saat ini. Biaya bunga yang cukup besar juga merupakan beban bagi maskapai penerbangan.

Akibatnya, kecurigaan bahwa pesawat tidak mendapatkan perawatan yang semestinya, timbul di masyarakat pengguna jasa. Padahal, dalam rangka menekan biaya operasional, keselamatan penerbangan juga dapat ditingkatkan. Saat ini sudah pada tempatnya jika maskapai nasional mengubah strategi bisnis mereka. Langkah Lion Air yang akan menggunakan pesawat baru milik perusahaan itu sendiri mungkin harus diikuti oleh maskapai yang lain.

Faktor-faktor lain

Selain faktor kondisi dan perawatan pesawat, kualitas sumber daya manusia memegang peran penting. Manusia yang terlibat dalam sebuah penerbangan bukan hanya pilot pesawat, melainkan juga petugas lain, termasuk yang bertanggung jawab dalam penanganan dan pemeriksaan pesawat di antara penerbangan.

Perkembangan industri penerbangan saat ini tidak diikuti dengan perkembangan sumber daya manusia yang mencukupi. Saat ini hanya ada beberapa sekolah menengah dan tinggi penerbangan, yang metode pengajarannya sering tidak dapat mengejar perkembangan teknologi yang ada.

Akibatnya, Indonesia saat ini hanya memiliki sedikit teknisi pesawat yang mempunyai cukup pengetahuan tentang teknologi dirgantara yang semakin berkembang. Faktor keselamatan pesawat sekali lagi dapat terancam akibat lemahnya pengetahuan teknisi pendukung penerbangan ini. Seiring dengan perkembangan transportasi udara di masa mendatang, Indonesia harus segera menyiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan.

Masalah infrastruktur penerbangan juga merupakan hal yang harus diperhatikan. Saat ini beberapa bandar udara di Indonesia telah beroperasi pada tingkat yang agak mengkhawatirkan. Belum lagi lingkungan sekitar bandara yang sudah tidak layak lagi, seperti kondisi Bandara Polonia, Medan. Penambahan dan perluasan infrastruktur mutlak dilakukan dalam mengantisipasi lonjakan kebutuhan akan transportasi udara.
Langkah pemerintah

Beberapa waktu lalu, pemerintah mencoba mengeluarkan kebijakan mengenai tarif referensi untuk meningkatkan keselamatan penerbangan. Dasar dari kebijakan ini adalah asumsi bahwa untuk meningkatkan keselamatan penerbangan, biaya operasional--terutama biaya perawatan--tidak dapat diturunkan. Kebijakan tersebut juga mengasumsikan bahwa maskapai yang menjual tiket pada harga tinggi berarti sudah memenuhi seluruh aturan dalam keselamatan penerbangan.

Padahal, seperti telah dijabarkan di atas, biaya perawatan yang tinggi sebenarnya disebabkan oleh kondisi pesawat yang tidak lagi cukup baik. Pesawat yang masih dalam kondisi prima tidak memerlukan biaya perawatan yang tinggi, sehingga biaya operasionalnya dapat ditekan. Harga tiket pada akhirnya dapat pula ditekan.

Daripada repot-repot mengurusi harga tiket, yang pada prakteknya tidak akan dapat berjalan, lebih baik pemerintah menjamin agar perusahaan penerbangan menerapkan aturan keselamatan secara benar. Perbaikan perlengkapan dan sumber daya manusia dari Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara juga patut menjadi perhatian. Sudah saatnya pula pemerintah mempertimbangkan pendirian badan independen yang bertugas mengawasi operasional industri penerbangan

Pemerintah juga dapat memperbaiki infrastruktur penerbangan yang ada. Mungkin pemerintah tidak perlu melakukannya sendiri karena akan membutuhkan biaya yang cukup besar. Namun, pemerintah bisa melakukannya dengan membuka kesempatan bagi pihak swasta yang berminat membuka bandar udara atau menyediakan infrastruktur transportasi udara.